INDONESIA MASA
DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
A. KABINET MASA
DEMOKRASI LIBERAL
a.
KABINET NATSIR (6
September 1950 - 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh
partai Masyumi.
Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir
Program :
1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil
:
Berlangsung perundingan antara
Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
- Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat
dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
- Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu
terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan
DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut
pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan
Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
b.
KABINET SUKIMAN (27
April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan
PNI.
Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo
Program :
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria
agar sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil
:
Tidak terlalu berarti sebab programnya
melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam
pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan
ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
·
Adanya Pertukaran Nota Keuangan
antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat
Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah
Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI
diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong
ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
·
Adanya krisis moral yang ditandai dengan
munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran
akan barang-barang mewah.
·
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
·
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik
tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI
atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet
tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus
mengembalikan mandatnya kepada presiden.
c.
KABINET WILOPO (3
April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet
yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.
Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
Program
:
1. Program dalam negeri :
Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan
kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar
negeri yang bebas-aktif.
Hasil
: -
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
ü
Adanya kondisi krisis ekonomi yang
disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara
kebutuhan impor terus meningkat.
ü
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan
negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga
membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
ü
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap
provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa
ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
ü
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952.
Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga
muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan
membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah
intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution
yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai
penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan
parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto
dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi
di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang
dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan.
Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut
diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan
KSAD.
Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah
perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
ü
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa
mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan
perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke
Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang
telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani
di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953
muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang
dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau
pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh.
Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan
peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah
mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo.
Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
d.
KABINET ALI
SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan
NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
Program :
1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera
menyelenggarakan Pemilu.
2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali
persetujuan KMB.
4. Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil
:
·
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih
anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
·
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika
tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
ü
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang
belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan,
dan Aceh.
ü
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu
peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD
yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng
sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh
kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo
tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya
dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD.
Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun
panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun
menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
ü
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk,
maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
ü
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah.
ü
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang
menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada
tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Nu menarik dukungan dan menterinya dari
kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus
mengembalikan mandatnya pada presiden.
e.
KABINET BURHANUDDIN
HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin Oleh : Burhanuddin Harahap
Program
:
1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah
ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri
bebas aktif.
Hasil
:
ü
Penyelenggaraan pemilu pertama yang
demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955
(memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya
27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang
memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
ü
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah
Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
ü
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para
pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
ü
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat
dengan Kabinet Burhanuddin.
ü
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955
dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28
Oktober 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan
pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet
:
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet
Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup
terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang
harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
f.
KABINET ALI
SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai
yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo
Program
:
Program kabinet ini disebut Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya
anggota-anggota DPRD.
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
·
Pembatalan KMB,
·
Pemulihan keamanan dan ketertiban,
pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
·
Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil
:
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment,
hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
ü
Berkobarnya semangat anti Cina di
masyarakat.
ü
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang
semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan
dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera
Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan
Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
ü
Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena
pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
ü
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan
masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia.
Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena
memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi
pengusaha nasional.
ü
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI.
Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai
tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti
meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi
membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada
presiden.
g.
KABINET DJUANDA ( 9
April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet
yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk
karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS
1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dipimpin Oleh : Ir. Juanda
Program
:
Programnya disebut Panca Karya
sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
·
Membentuk Dewan Nasional
·
Normalisasi keadaan Republik Indonesia
·
Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
·
Perjuangan pengembalian Irian Jaya
·
Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi
pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat,
menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil
:
ü
Mengatur kembali batas perairan nasional
Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut
pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah
terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu
kesatuan yang utuh dan bulat.
ü
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai
badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada
dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
ü
Mengadakan Musyawarah Nasional
(Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas
masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan
pembagian wilayah RI.
ü
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan
untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
- Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah
sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan
pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti
PRRI/Permesta.
- Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin
buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal
mencapai puncaknya.
- Terjadi peristiwa Cikini, yaitu
peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini
saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada
tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin
memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi
Terpimpin.
B. KEADAAN EKONOMI
INDONESIA MASA LIBERAL
Meskipun Indonesia
telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk
mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.
Faktor yang
menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27
Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti
yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri
sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu
sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil
bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari
sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di
Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk
mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik,
belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan
berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah
di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan
pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program
kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program
baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan
jumlah penduduk yang besar.
Masalah jangka
pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar
2. Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah
jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1. Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang
rendah.
C. KEBIJAKAN
PEMERINTAH UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI MASA LIBERAL
Kehidupan ekonomi
Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang
menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi
adalah sebagai berikut.
1.
Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai
uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50
ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri
Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini
dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal
19 Maret 1950
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp.
2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan
ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan
dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
2.
Sistem Ekonomi
Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan
usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat
sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro
Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah
struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan
ekonomi Indonesia). Programnya :
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing
dan diberikan bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan
berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program
Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya
selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia
menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat
tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar.
Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non
pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan
menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari
keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya program ini menjadi salah satu
sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3
Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7
miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan
kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi
lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang
dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3.
Nasionalisasi De
Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka
pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa
mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal
ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan
menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.
Perubahan mengenai nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No.
24 tahun 1951.
4.
Sistem Ekonomi
Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh
Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari
program ini adalah
·
Untuk memajukan pengusaha pribumi.
·
Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama
memajukan ekonomi nasional.
·
Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha
swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional.
·
Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya
kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba
digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina.
Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,
Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan
dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki
jabatan-jabatan staf.
Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha
swasta nasional
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada.
Program ini tidak dapat berjalan dengan baik
sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan
alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non
pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih
mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5.
Persaingan Finansial
Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim
delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak
Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung.
Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek,
yang berisi :
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak
boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau
menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13
Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda.
Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani
undang-undang pembatalan KMB.
Dampaknya :
Banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih
perusahaan Belanda tersebut.
6.
Rencana Pembangunan
Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang
sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan
politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi,
dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan
program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II,
pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka
panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini
berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan
dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November
1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik
disebabkan karena :
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada
akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara
merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak
daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7.
Musyawarah Nasional
Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan
hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat
teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan
Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana
pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena :
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/
Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut
masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
*DARI BERBAGAI SUMBER*